
Yogyakarta (10/11) — Menyambut Hari Pahlawan, semangat kepahlawanan kini tidak hanya berwujud perjuangan bersenjata sebagaimana para pendahulu bangsa. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 sebagai cikal-bakal Hari Pahlawan menjadi pengingat, bahwa bangsa Indonesia pernah melawan Inggris sang pemenang Perang Dunia II. Kini di tengah perubahan iklim yang semakin terasa di Yogyakarta, suhu udara yang kian panas, curah hujan tidak teratur, hingga bencana ekologis yang makin sering terjadi, LDII DIY gaungkan “pahlawan hijau” yang lahir dari kampung hingga pesantren.
Ketua DPW LDII DIY, Atus Syahbudin, menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan merupakan bagian dari menjaga amanah dari Allah. “Bumi ini milik Allah SWT, dan manusia hanyalah penerima amanah. Menjaga bumi adalah wujud ibadah dan tanggung jawab moral,” ujarnya. Menurutnya, Hari Pahlawan adalah momentum untuk menghargai langkah-langkah kecil yang melindungi masa depan bumi.
Di tingkat komunitas, Program Kampung Iklim (ProKlim) tumbuh pesat di berbagai wilayah DIY. Warga Kampung Sangurejo, Sleman, membuat Jugangan Ing Omah (Jugangin Om) untuk memperluas resapan air. Mereka mendirikan sanggar ecoprint dan merintis healing village dengan dukungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), pramuka, Universitas Gajah Mada (UGM), serta Universiti Putra Malaysia. Di Rejowinangun Kotagede, bank sampah menjadi penggerak ekonomi sirkular. Warga menukar sampah plastik dengan sembako, menunjukkan bahwa ketahanan lingkungan dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan sosial.

Petani Pacarejo, Gunungkidul, menanam ribuan pohon jati dan sengon dalam program “kebun karbon” untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Mereka menggali biopori, merawat sumur resapan, dan mengelola air hujan secara mandiri. Sementara di Desa Sumbergiri, limbah pertanian diolah menjadi biochar untuk menyuburkan tanah kering.
Di lingkungan pesantren, lahir pula pahlawan hijau yang lain. Pondok Pesantren (Ponpes) Krapyak Yayasan Ali Maksum sejak 2023 menjalankan program Krapyak Peduli Sampah berbasis 3R (reduce, reuse, recycle). Ponpes Kutubus Sittah Mulyo Abadi Sleman menjadikan halaman pesantren sebagai taman hijau.
Lebih lanjut, Atus mengungkapkan bahwa pesantren memiliki peran strategis. Gerakan zero waste pesantren memberi warna baru dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. “Program Kampung Iklim menumbuhkan kesadaran ekologis di tingkat komunitas, maka pesantren menanamkannya di ranah moral dan spiritual. Santri bukan hanya mengaji, tetapi mengamalkan ajaran Islam yang melarang kerusakan di muka bumi,” kata Atus.
Atus menegaskan bahwa pahlawan hijau sejati bukan mereka yang hanya bisa berceramah di podium, tapi mereka yang menanam pohon di halaman dan memilah sampah di rumahnya. “Pahlawan hijau itu mereka para pembuat jugangan di Sangurejo, pengompos di Sorosutan, atau penghemat air wudhu. Ada pula Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), Generasi Muda Indonesia Bela Lingkungan (GEMILANG) LDII, Bumi Langit Institute, dan masih banyak lagi,” ungkapnya.
Ia berharap sinergi ProKlim, pesantren, masyarakat, dan pemerintah daerah terus diperkuat. “Jika setiap rumah dan pesantren bergerak, maka ketahanan iklim bukan lagi sekedar cita-cita, insya Allah akan menjadi kenyataan,” pungkasnya.
LDII Daerah Istimewa Yogyakarta Selamat Datang di Website Resmi LDII Daerah Istimewa Yogyakarta